Diantara
tema yang mengandung perdebatan setiap tahunnya adalah ucapan selamat Hari
Natal. Para ulama kontemporer berbeda pendapat didalam penentuan hukum fiqihnya
antara yang mendukung ucapan selamat dengan yang menentangnya. Kedua kelompok
ini bersandar kepada sejumlah dalil.
Meskipun
pengucapan selamat hari natal ini sebagiannya masuk didalam wilayah aqidah
namun ia memiliki hukum fiqih yang bersandar kepada pemahaman yang mendalam,
penelaahan yang rinci terhadap berbagai nash-nash syar’i.
Ada dua
pendapat didalam permasalahan ini :
1. Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan
para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin—semoga Allah
merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al
Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah haram
karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak
meredhoi adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya didalam
pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka
dan ini diharamkan.
Diantara
bentuk-bentuk tasyabbuh :
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.
Mereka
juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi
dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang
digunakan untuk menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim
didalam menyerupai perayaan hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas
hari raya mereka serta menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus
didalam ibadah mereka.
2. Jumhur ulama kontemporer membolehkan
mengucapkan selamat Hari Natal.
Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman Allah swt :Artinya :
Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman Allah swt :Artinya :
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Terlebih
lagi jika mereka mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman
Allah swt :
وَإِذَا
حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ
اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا ﴿٨٦﴾
#Artinya : “Apabila kamu diberi
penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang
serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An
Nisaa : 86)
Lembaga
Riset dan Fatwa Eropa
juga membolehkan pengucapan selamat ini jika mereka bukan termasuk orang-orang
yang memerangi kaum muslimin khususnya dalam keadaan dimana kaum muslimin
minoritas seperti di Barat. Setelah memaparkan berbagai dalil, Lembaga ini
memberikan kesimpulan sebagai berikut : Tidak dilarang bagi seorang muslim
atau Markaz Islam memberikan selamat atas perayaan ini, baik dengan lisan
maupun pengiriman kartu ucapan yang tidak menampilkan simbol mereka atau
berbagai ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam
seperti salib. Sesungguhnya Islam menafikan fikroh salib, firman-Nya :
وَقَوْلِهِمْ
إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا
قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ
فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ
وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا ﴿١٥٧﴾
Artinya : “Padahal
mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka
bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An Nisaa
: 157)
Kalimat-kalimat
yang digunakan dalam pemberian selamat ini pun harus yang tidak mengandung
pengukuhan atas agama mereka atau ridho dengannya. Adapun kalimat yang
digunakan adalah kalimat pertemanan yang sudah dikenal dimasyarakat.
Tidak
dilarang untuk menerima berbagai hadiah dari mereka karena sesungguhnya Nabi
saw telah menerima berbagai hadiah dari non muslim seperti al Muqouqis Pemimpin
al Qibthi di Mesir dan juga yang lainnya dengan persyaratan bahwa hadiah itu
bukanlah yang diharamkan oleh kaum muslimin seperti khomer, daging babi dan
lainnya.
Diantara
para ulama yang membolehkan adalah DR. Abdus Sattar Fathullah Sa’id, ustadz
bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an di Universitas Al Azhar, DR. Muhammad
Sayyid Dasuki, ustadz Syari’ah di Univrsitas Qatar, Ustadz Musthafa az Zarqo
serta Syeikh Muhammad Rasyd Ridho. (www.islamonline.net)
Adapun MUI
(Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1981 sebelum mengeluarkan fatwanya,
terlebih dahulu mengemukakan dasar-dasar ajaran Islam dengan disertai berbagai
dalil baik dari Al Qur’an maupun Hadits Nabi saw sebagai berikut :
A) Bahwa
ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat
agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah
keduniaan.
B) Bahwa
ummat Islam tidak boleh mencampur-adukkan agamanya dengan aqidah dan
peribadatan agama lain.
C) Bahwa
ummat Islam harus mengakui ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa Almasih bin Maryam
sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain.
D) Bahwa
barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai
anak dan Isa Almasih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik.
E) Bahwa
Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di
dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai
Tuhan. Isa menjawab: Tidak.
F) Islam
mengajarkan bahwa Allah SWT itu hanya satu.
G) Islam
mengajarkan ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari
larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik
kemaslahatan.
Juga
berdasarkan Kaidah Ushul Fikih
”Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan mushalihnya tidak dihasilkan)”.
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :
”Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan mushalihnya tidak dihasilkan)”.
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :
- Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
- Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
- Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.
Mengucapkan
Selamat Hari Natal Haram kecuali Darurat
Diantara
dalil yang digunakan para ulama yang membolehkan mengucapkan Selamat Hari Natal
adalah firman Allah swt :
لَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
Artinya : “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS.
Al Mumtahanah : 8)
Ayat ini
merupakan rukhshoh (keringanan) dari Allah swt untuk membina hubungan dengan
orang-orang yang tidak memusuhi kaum mukminin dan tidak memerangi mereka. Ibnu
Zaid mengatakan bahwa hal itu adalah pada awal-awal islam yaitu untuk
menghindar dan meninggalkan perintah berperang kemudian di-mansukh (dihapus).
Qatadhah
mengatakan bahwa ayat ini dihapus dengan firman Allah swt :
….فَاقْتُلُواْ
الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ ﴿٥﴾
Artinya : “Maka
bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At
Taubah : 5)
Adapula
yang menyebutkan bahwa hukum ini dikarenakan satu sebab yaitu perdamaian.
Ketika perdamaian hilang dengan futuh Mekah maka hukum didalam ayat ini
di-mansukh (dihapus) dan yang tinggal hanya tulisannya untuk dibaca. Ada juga
yang mengatakan bahwa ayat ini khusus untuk para sekutu Nabi saw dan
orang-orang yang terikat perjanjian dengan Nabi saw dan tidak memutuskannya,
demikian dikatakan al Hasan.
Al Kalibi
mengatakan bahwa mereka adalah Khuza’ah, Banil Harits bin Abdi Manaf, demikian
pula dikatakan oleh Abu Sholeh. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah
Khuza’ah.
Mujahid
mengatakan bahwa ayat ini dikhususkan terhadap orang-orang beriman yang tidak
berhijrah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud didalam ayat ini adalah
kaum wanita dan anak-anak dikarenakan mereka tidak ikut memerangi, maka Allah
swt mengizinkan untuk berbuat baik kepada mereka, demikianlah disebutkan oleh
sebagian ahli tafsir… (al Jami’ li Ahkamil Qur’an juz IX hal 311)
Dari
pemaparan yang dsebutkan Imam Qurthubi diatas maka ayat ini tidak bisa
diperlakukan secara umum tetapi dikhususkan untuk orang-orang yang terikat
perjanjian dengan Rasulullah saw selama mereka tidak memutuskannya (ahli
dzimmah).
Hak-hak
dan kewajiban-kewajiban kafir dzimmi adalah sama persis dengan kaum muslimin di
suatu negara islam. Mereka semua berada dibawah kontrol penuh dari pemerintahan
islam sehingga setiap kali mereka melakukan tindakan kriminal, kejahatan atau
melanggar perjanjian maka langsung mendapatkan sangsi dari pemerintah.
Didalam
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw
bersabda,”Janganlah kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Apabila kalian bertemu salah seorang diantara mereka di jalan maka sempitkanlah
jalannya.” (HR. Muslim)
Yang
dimaksud dengan sempitkan jalan mereka adalah jangan biarkan seorang dzimmi
berada ditengah jalan akan tetapi jadikan dia agar berada ditempat yang paling
sempit apabila kaum muslimin ikut berjalan bersamanya. Namun apabila jalan itu
tidak ramai maka tidak ada halangan baginya. Mereka mengatakan : “Akan
tetapi penyempitan di sini jangan sampai menyebabkan orang itu terdorong ke
jurang, terbentur dinding atau yang sejenisnya.” (Shohih Muslim bi Syarhin
Nawawi juz XIV hal 211)
Hadits
“menyempitkan jalan” itu menunjukkan bahwa seorang muslim harus bisa menjaga
izzahnya dihadapan orang-orang non muslim tanpa pernah mau merendahkannya
apalagi direndahkan. Namun demikian dalam menampilkan izzah tersebut janganlah
sampai menzhalimi mereka sehingga mereka jatuh ke jurang atau terbentur dinding
karena jika ini terjadi maka ia akan mendapatkan sangsi.
Disebutkan
didalam sejarah bahwa Umar bin Khottob pernah mengadili Gubernur Mesir Amr bin
Ash karena perlakuan anaknya yang memukul seorang Nasrani Qibti dalam suatu
permainan. Hakim Syuraih pernah memenangkan seorang Yahudi terhadap Amirul
Mukminin Ali bin Abi Tholib dalam kasus beju besinya.
Sedangkan
pada zaman ini, orang-orang non muslim tidaklah berada dibawah suatu
pemerintahan islam yang terus mengawasinya dan bisa memberikan sangsi tegas
ketika mereka melakukan pelanggaran kemanusiaan, pelecehan maupun tindakan
kriminal terhadap seseorang muslim ataupun umat islam.
Keadaan
justru sebaliknya, orang-orang non muslim tampak mendominanasi di berbagai
aspek kehidupan manusia baik pilitik, ekonomi, budaya maupun militer. Tidak
jarang dikarenakan dominasi ini, mereka melakukan berbagai penghinaan atau
pelecehan terhadap simbol-simbol islam sementara si pelakunya tidak pernah
mendapatkan sangsi yang tegas dari pemerintahan setempat, terutama di daerah-daerah
atau negara-negara yang minoritas kaum muslimin.
Bukan
berarti dalam kondisi dimana orang-orang non muslim begitu dominan kemudian
kaum muslimin harus kehilangan izzahnya dan larut bersama mereka, mengikuti
atau mengakui ajaran-ajaran agama mereka. Seorang muslim harus tetap bisa
mempertahankan ciri khas keislamannya dihadapan berbagai ciri khas yang bukan
islam didalam kondisi bagaimanapun.
Tentunya
diantara mereka—orang-orang non muslim—ada yang berbuat baik kepada kaum
muslimin dan tidak menyakitinya maka terhadap mereka setiap muslim diharuskan
membalasnya dengan perbuatan baik pula.
Al Qur’an
maupun Sunah banyak menganjurkan kaum muslimin untuk senantiasa berbuat baik
kepada semua orang baik terhadap sesama muslim maupun non muslim, diantaranya :
surat al Mumtahanah ayat 8 diatas. Sabda Rasulullah saw,”Sayangilah orang yang
ada di bumi maka yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. Thabrani) Juga
sabdanya saw,”Barangsiapa yang menyakiti seorang dzimmi maka aku akan menjadi
lawannya di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Perbuatan
baik kepada mereka bukan berarti harus masuk kedalam prinsip-prinsip agama
mereka (aqidah) karena batasan didalam hal ini sudah sangat jelas dan tegas
digariskan oleh Allah swt :
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
Artinya : “Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. Al Kafirun : 6)
Hari Natal
adalah bagian dari prinsip-prinsip agama Nasrani, mereka meyakini bahwa di hari
inilah Yesus Kristus dilahirkan. Didalam bahasa Inggris disebut dengan
Christmas, Christ berarti Kristus sedangkan Mass berarti masa atau kumpulan
jadi bahwa pada hari itu banyak orang berkumpul mengingat / merayakan hari
kelahiran Kristus. Dan Kristus menurut keyakinan mereka adalah Allah yang
mejelma.
Berbuat
kebaikan kepada mereka dalam hal ini adalah bukan dengan ikut memberikan
selamat Hari Natal dikarenakan alasan diatas akan tetapi dengan tidak
mengganggu mereka didalam merayakannya (aspek sosial).
Pemberian
ucapan selamat Natal baik dengan lisan, telepon, sms, email ataupun pengiriman
kartu berarti sudah memberikan pengakuan terhadap agama mereka dan rela dengan
prinsip-prinsip agama mereka. Hal ini dilarang oleh Allah swt dalam firman-Nya,
إِن
تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ
إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ
عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ﴿٧﴾
Artinya : “Jika
kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak
meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia
meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar : 7)
Jadi
pemberian ucapan Selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani baik ia adalah
kerabat, teman dekat, tetangga, teman kantor, teman sekolah dan lainnya adalah
haram hukumnya, sebagaimana pendapat kelompok pertama (Ibnu Taimiyah, Ibnul
Qoyyim, Ibn Baaz dan lainnya) dan juga fatwa MUI.
Namun
demikian setiap muslim yang berada diantara lingkungan mayoritas orang-orang
Nasrani, seperti muslim yang tempat tinggalnya diantara rumah-rumah orang
Nasrani, pegawai yang bekerja dengan orang Nasrani, seorang siswa di sekolah
Nasrani, seorang pebisnis muslim yang sangat tergantung dengan pebisinis
Nasrani atau kaum muslimin yang berada di daerah-daerah atau negeri-negeri non
muslim maka boleh memberikan ucapan selamat Hari Natal kepada orang-orang
Nasrani yang ada di sekitarnya tersebut disebabkan keterpaksaan. Ucapan selamat
yang keluar darinya pun harus tidak dibarengi dengan keredhoan didalam hatinya
serta diharuskan baginya untuk beristighfar dan bertaubat.
Diantara
kondisi terpaksa misalnya; jika seorang pegawai muslim tidak mengucapkan Selamat
Hari Natal kepada boss atau atasannya maka ia akan dipecat, karirnya dihambat,
dikurangi hak-haknya. Atau seorang siswa muslim apabila tidak memberikan ucapan
Selamat Natal kepada Gurunya maka kemungkinan ia akan ditekan nilainya,
diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal
di suatu daerah atau negara non muslim apabila tidak memberikan Selamat Hari
Natal kepada para tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan tekanan
sosial dan lain sebagainya.
مَن كَفَرَ
بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ
بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ
اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٠٦﴾
Artinya : “Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
(QS. An Nahl : 106)
Adapun
apabila keadaan atau kondisi sekitarnya tidaklah memaksa atau mendesaknya dan
tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak atau perlakuan
orang-orang Nasrani sekelilingnya terhadap diri dan keluarganya maka tidak
diperbolehkan baginya mengucapkan Selamat Hari Natal kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar